JABARINSIDE.COM | Pagi itu, langit Cicantayan masih teduh. Ade Rahmat (62) berjalan seperti biasa, langkah pelan menyusuri jalan setapak menuju rel Paledang, Desa Cimahi, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi. Tak ada yang mengira, perjalanan terapi diabetes yang rutin ia lakukan berubah menjadi langkah terakhir dalam hidupnya.
Sekitar pukul 09.45 WIB, Sabtu (2/8/2025), kereta jurusan Bogor–Sukabumi melintas dengan kecepatan tinggi di perlintasan tanpa palang pintu. Dalam hitungan detik, suara deru lokomotif memecah keheningan, dan Ade tak sempat menyelamatkan diri.

Tubuhnya tergeletak di sisi rel, tak bergerak. Beberapa warga yang mulai berdatangan hanya bisa berdiri terpaku. Ada yang menutup mulut, ada pula yang menunduk, menahan tangis. Rel yang selama ini menjadi jalur terapi bagi Ade, kini menjadi saksi bisu kepergiannya.
“Memang tiap hari beliau suka jalan kaki untuk terapi. Sering juga lewat rel itu. Kadang mampir ke rumah saya dulu, lihat cucunya,” ujar Dedi (47), menantu korban, dengan suara berat menahan sesak.

Ade sudah lama berjuang melawan diabetes. Berjalan kaki setiap pagi menjadi rutinitasnya, cara sederhana untuk menjaga kesehatannya. Dari rumahnya yang hanya sekitar 500 meter dari rel, ia selalu menapaki jalur itu dengan tenang. Hingga pagi itu, nasib berkata lain.
Petugas PMI yang tiba di lokasi pun tak kuasa menahan haru. “Waktu saya datang, jenazahnya masih tergeletak. Belum bisa kami evakuasi karena kantong jenazah belum sampai,” ungkap Ima, petugas PMI yang ikut mengevakuasi.
Di tengah kerumunan, suasana makin pilu saat seorang keluarga datang. Ia menatap jasad d rell, lalu mengangguk perlahan. “Itu mertua saya,” ucapnya lirih.
Ade dikenal sebagai sosok yang hangat, penyayang keluarga, dan ramah pada siapa saja. Ia meninggalkan dua anak dan cucu-cucu yang kerap ia temui setiap pagi. Kini, langkah-langkah kecilnya yang selalu menyapa kehidupan telah berhenti, meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang mencintainya.
Kini rel itu tak lagi sama. Bagi keluarga dan warga yang mengenalnya, setiap lintasan di Paledang adalah pengingat tentang sosok kakek sederhana yang setiap paginya melangkah penuh harapan hingga akhirnya berhenti di sana, untuk selamanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT