JABARINSIDE.COM|Sukabumi – Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 di Sukabumi kembali menjadi sorotan tajam. Sekretaris LSM Rakyat Indonesia Berdaya (RIB) Sukabumi, Lutfi Imanullah, menilai perubahan nama dari PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) menjadi SPMB hanyalah kosmetik belaka tanpa menyentuh akar permasalahan yang merundung dunia pendidikan setiap tahunnya.
Kritik keras ini dilayangkan Lutfi mengingat SPMB seharusnya menjadi gerbang utama pemerataan akses pendidikan, namun di lapangan masih banyak ditemukan indikasi maladministrasi dan ketidakadilan yang merugikan calon siswa dan orang tua.
“SPMB 2025 ini secara esensi masih sama dengan PPDB tahun-tahun sebelumnya. Hanya ganti nama, tapi masalah klasik seperti maladministrasi, dugaan pungli, dan praktik ‘titipan’ masih saja menghantui,” tegas Lutfi Imanullah, dengan nada prihatin saat ditemui awak media di kantornya, Jumat (28/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pelanggaran Aturan dan Hak Dasar Pendidikan
Lutfi Imanullah tidak hanya melontarkan kritik, namun juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap sejumlah aturan dan hak dasar pendidikan yang seharusnya menjadi panduan dalam pelaksanaan SPMB.
“Penting diingat, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Ini dijamin oleh Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan’,” papar Lutfi.
Ia melanjutkan, hak ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.’
Dalam konteks SPMB, Lutfi menyoroti beberapa poin krusial yang dinilai masih jauh dari harapan:
” Lutfi mengungkapkan bahwa laporan mengenai ketidakjelasan informasi, proses verifikasi data, hingga praktik ‘jalur belakang’ masih menjadi keluhan umum. “Ini jelas melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Meskipun kini berubah nama menjadi SPMB, semangat dan prinsip-prinsip dalam permendikbud tersebut seharusnya tetap menjadi acuan utama,” jelasnya.
Ia juga merujuk pada temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam evaluasi PPDB tahun-tahun sebelumnya yang kerap menemukan potensi maladministrasi, mulai dari pungli, rekayasa data, hingga inkonsistensi aturan. “Jika SPMB 2025 masih mengulang kesalahan ini, berarti tidak ada perbaikan signifikan,” tegas Lutfi.
Kritik keras juga ditujukan pada implementasi jalur domisili (pengganti zonasi) yang dinilai tidak konsisten.
“Tujuan utama zonasi, yang kini diadaptasi menjadi domisili, adalah untuk pemerataan kualitas pendidikan dan mendekatkan akses siswa ke sekolah.
Namun, di lapangan, kami masih melihat kasus di mana siswa yang secara geografis sangat dekat dengan sekolah justru tidak diterima karena kalah bersaing nilai,” ujar Lutfi.
Beberapa laporan yang kami terima, termasuk terkait SMA Negeri 2 Kota Sukabumi, menunjukkan adanya fenomena di mana calon siswa yang berdomisili sangat dekat dengan lokasi sekolah, namun tergeser oleh mereka yang mungkin memiliki nilai lebih tinggi atau melalui jalur yang kurang transparan.
Ini paradoks. Bukankah Pasal 14 Permendikbud No. 1 Tahun 2021 (sebelumnya mengatur zonasi) secara eksplisit menekankan batas minimal kuota jalur zonasi? Jika nilai akademik tetap menjadi penentu utama di jalur domisili, lantas apa bedanya dengan jalur prestasi? Ini menciptakan diskriminasi terselubung dan menggugurkan semangat pemerataan,” tambahnya.
Lutfi menekankan bahwa kegagalan sistem ini memiliki dampak berantai.
“Ketika anak tidak diterima di sekolah terdekat, orang tua dipaksa mencari sekolah alternatif yang lebih jauh, menambah beban transportasi dan waktu.
Bagi keluarga miskin, ini adalah pukulan telak yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan finansial, atau bahkan terpaksa menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta dengan biaya lebih tinggi,” urainya.
“Aspek psikologis pada siswa juga tidak boleh diabaikan. Rasa kecewa, frustrasi, hingga penurunan motivasi belajar adalah konsekuensi nyata dari sistem yang tidak adil ini.
Ini bertentangan dengan semangat pembangunan karakter siswa yang sehat dan positif,” tegas Lutfi.
Melihat berbagai permasalahan ini, LSM Rakyat Indonesia Berdaya Sukabumi mendesak Dinas Pendidikan dan seluruh pihak terkait untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap SPMB 2025.
“Kami menuntut adanya audit menyeluruh terhadap data pendaftaran dan hasil seleksi.terutama di SMK N 2 Kota Sukabumi, Transparansi data harus ditingkatkan, dan setiap keluhan masyarakat harus ditindaklanjuti secara serius,” desak Lutfi. “Jika terbukti ada pelanggaran, sanksi tegas harus dijatuhkan kepada oknum-oknum yang terlibat, tanpa pandang bulu. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menegakkan integritas pendidikan,” tambahnya.
Lutfi Imanullah juga menggarisbawahi pentingnya pemerataan kualitas sekolah secara fundamental.
“Percuma berdebat soal jalur dan sistem, jika kualitas antar sekolah negeri masih jomplang.
Pemerintah daerah harus fokus pada peningkatan sarana prasarana, kompetensi guru, dan kurikulum di semua sekolah, agar tidak ada lagi istilah ‘sekolah favorit’ yang menjadi rebutan,” pungkasnya.
Kritik tajam dari Lutfi Imanullah ini diharapkan menjadi Masukan Khususnya Bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemangku kebijakan di Sukabumi untuk segera berbenah dan memastikan SPMB 2025 benar-benar menjadi gerbang keadilan dan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa, sesuai dengan amanat konstitusi dan undang-undang yang berlaku.
(Red)