JABARINSIDE.COM | Pengamat hukum, Hakim Adonara, mengkritisi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Anggota DPR RI, Heri Gunawan, sebagai tersangka dugaan korupsi dan pencucian uang terkait dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurutnya, banyak pihak masih keliru memahami konteks hukum CSR. Ia menegaskan bahwa CSR bukan uang negara dalam konteks APBN/APBD, melainkan bentuk tanggung jawab sosial lembaga kepada masyarakat.
“Penetapan tersangka tidak boleh didasarkan hanya pada aliran dana, tetapi harus membuktikan adanya niat jahat, penyalahgunaan wewenang, serta kerugian negara yang nyata dan terukur,” ujarnya, Kamis (14/8).
CSR Bukan Ranah Tipikor
Hakim menjelaskan, sesuai Pasal 1 angka 1 UU Tipikor, keuangan negara mencakup kekayaan negara yang dipisahkan. Namun, definisi ini hanya relevan jika dana masih berada dalam penguasaan negara. Saat telah dialokasikan sebagai hibah sosial, statusnya bukan lagi kekayaan negara.
Berdasarkan UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 74, CSR bersumber dari anggaran internal perusahaan, bukan APBN atau APBD. Karenanya, jika pun ada penyalahgunaan, semestinya masuk ranah hukum perdata atau fraud korporasi, bukan serta merta korupsi, kecuali terbukti sudah menjadi bagian dari APBN/D.
Peran DPR Hanya Fasilitator
Heri Gunawan, lanjut Hakim, sebagai anggota DPR tidak memiliki kewenangan eksekutif untuk mengelola dana langsung. Perannya hanya sebagai fasilitator antara perusahaan dan masyarakat penerima manfaat. Bahkan, menurutnya, sudah ada kesepakatan internal antara Komisi XI DPR, BI, dan OJK terkait alokasi CSR tersebut.
Status Dana CSR BI dan OJK
BI adalah lembaga negara independen yang modalnya milik negara, namun operasionalnya berasal dari kegiatan BI sendiri. Program CSR BI berasal dari pos anggaran sosial yang diambil dari laba BI, bukan APBN langsung. OJK juga lembaga independen, dengan anggaran dari APBN dan pungutan industri jasa keuangan. CSR OJK bisa bersumber dari pungutan industri, sehingga tidak otomatis masuk ranah Tipikor.
Hakim menilai KPK harus membuktikan ada quid pro quo (imbal balik) antara anggota DPR dan BI/OJK agar dapat dikualifikasikan sebagai suap atau korupsi. “Kalau dana itu murni hibah sosial, maka kesalahan administratif tidak bisa serta merta disebut korupsi,” katanya.
Pembuktian Harus ‘Beyond Reasonable Doubt’
Mengacu Pasal 183 KUHAP, ia menegaskan pembuktian kesalahan harus melampaui keraguan yang wajar. Unsur perbuatan melawan hukum, kerugian negara yang terukur, dan niat jahat harus terpenuhi.
“Kalau KPK menyebut dana itu dari BI dan OJK, kenapa pihak pemberi tidak juga dijadikan tersangka? Asas praduga tak bersalah harus ditegakkan,” tegas Hakim.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa penegakan hukum yang lurus patut didukung, tetapi yang bengkok harus diluruskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT