ATMOSFER Jakarta (kembali) disesaki beraneka ragam polutan. Tepat di HUT Ke-78 RI pada 17 Agustus lalu, indeks kualitas udara atau air quality index (AQI) Jakarta yang dipantau dari laman www.iqair.com menunjukkan angka 158 (merah). Parameter yang menggambarkan kualitas udara ibu kota tergolong tidak sehat. Tingkat polutan yang diukur melalui particulate matter (PM) menunjukkan nilai PM2.5 sebesar 69 µg/m³ (mikrogram per meter kubik) atau hampir 14 kali nilai normal yang ditentukan WHO. Angka-angka ini memang fluktuatif dengan kadar cenderung rendah pada dini hari lalu beranjak meningkat dan mulai menurun pada malam hari. Polutan dari transportasi darat (on-road transportation pollution) merupakan salah satu penyumbang terbesar PM2.5.
Emisi gas buang kendaraan (exhaust emissions/EE) dari pembakaran tidak sempurna mesin kendaraan adalah salah satu sumber utama PM2.5. Namun, justru sistem rem dan percikan partikel akibat gesekan jalan raya dengan ban mobil (road dust resuspension) merupakan emisi bukan dari knalpot (non-exhaust emissions/NEE) yang menjadi penyumbang terbesar polutan transportasi darat. Data di beberapa negara menunjukkan bahwa polutan transportasi darat disumbang oleh sekitar 60–70 persen (%) NEE dan 30–40% EE.
Fenomena ini sebenarnya sudah menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat, tapi langit Jakarta tetap saja dipenuhi udara yang tidak layak untuk dihirup. Perlahan dan pasti, bahan-bahan polutan tak kasatmata yang masuk lewat saluran pernapasan akan menumpuk di dalam tubuh dan memberikan efek buruk bagi kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan kira-kira sembilan dari sepuluh orang di negara-negara berkembang dunia menghirup udara tidak sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu strategi untuk memitigasi atau mengurangi bahaya polusi udara adalah dengan olahraga. Aktivitas fisik dan olahraga rutin merupakan cara yang efisien dalam meningkatkan kesehatan, mencegah dan bahkan bisa menunda perkembangan penyakit. Tapi, bagaimana jika kondisi alam tidak bersahabat dengan kita saat akan mengawali olahraga? Apa justru tidak berbahaya dalam udara yang terkontaminasi polutan, kita beraktivitas berat yang pastinya diikuti dengan pernapasan cepat dan menghirup udara dalam jumlah yang besar?
Aktivitas Fisik dalam Udara yang Tercemar
Olahraga, sebagai sebuah gaya hidup, telah menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Entah hanya muncul sejak pandemi Covid-19 atau memang dinamika peradaban manusia, masyarakat semakin menyadari pentingnya olahraga untuk dijadikan kebiasaan harian. Namun, kita harus berpikir ulang saat memutuskan berlari pagi atau bersepeda dalam balutan udara penuh polutan. Apakah efek baik (benefit) olahraga mampu mengatasi dampak buruk (risk) polusi udara? Sangatlah penting menghitung risk-benefit atau untung rugi manfaat kesehatan latihan fisik dan potensi bahaya polusi udara. Banyak studi menunjukkan bahwa polusi udara jelas meningkatkan prevalensi dan kematian penyakit kronis.
Respirasi merupakan sistem pertahanan pertama tubuh terhadap polutan udara. Sering kali polusi udara dengan kon-sentrasi partikel tinggi terhirup tanpa kita sadari karena kecepatan udara yang lebih lambat. Studi menunjukkan bahwa saat bernapas normal sekitar 9% PM2.5 yang dihirup melalui hidung kita bisa terbawa hingga mencapai daerah alveoli. Lebih lanjut, latihan fisik dengan intensitas sedang akan meningkatkan 4,5 kali lipat deposisi partikel PM2.5 di alveoli atau parenkim paru. Bagi mereka yang sudah mempunyai penyakit paru dan saluran napas, efek polutan ini bisa lebih membahayakan.
Selain paru, kesehatan jantung dan pembuluh darah serta keseimbangan metabolik merupakan kondisi yang ingin dicapai dengan rutin olahraga. Sebuah penelitian tentang efek olahraga di hewan coba dalam konteks polusi udara menunjukkan, meskipun ada perbaikan inflamasi (efek positif akibat olahraga), manfaat ini tidak cukup untuk mencegah kerusakan partikel akibat zat toksik terhadap kejadian penyakit kardiovaskular (efek negatif polusi udara).
Dengan demikian, orang sehat dan terutama pasien paru, kardiovaskular, dan gangguan metabolik masih bisa melakukan aktivitas fisik saat kadar polutan udara masih tingkat rendah hingga sedang (kuning sampai oranye). Oleh karena itu, perlu diupayakan strategi agar masyarakat tetap bisa melakukan aktivitas fisik dan olahraga secara rutin dengan tetap meminimalkan pajanan polutan-polutan berbahaya.
Strategi pertama adalah menentukan jenis olahraga. Yang menjadi tolok ukur dalam mengatur pola aktivitas saat terjadi polusi udara adalah kapasitas dan intensitas olahraga. Menentukan jenis olahraga menjadi penting agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai tanpa mengabaikan kesehatan. Sejauh ini, para ahli sepakat bahwa olahraga dengan intensitas rendah hingga sedang dapat meningkatkan kapasitas aerobik dan menurunkan risiko penyakit metabolik. Sedangkan olahraga intensitas tinggi memiliki efek yang lebih baik pada peningkatan kebugaran kardiopulmoner. Se-bagai contoh praktis, latihan aerobik satu kali (sepeda statis) dalam indeks kualitas udara (AQI) ”kuning” akan menda-patkan kedua efek, yaitu tidak akan mengurangi kinerja latihan dan juga tidak memiliki efek negatif terhadap fungsi paru-paru.
Langkah kedua adalah selalu memantau kualitas udara. Sebuah studi menunjukkan bahwa efek positif olahraga akan menjadi hilang atau berkurang saat kondisi udara menunjukkan kadar PM2.5 >100μg/m3. Artinya, hindari melakukan aktivitas outdoor sport jika PM2.5 mengindikasikan AQI menjadi merah. Ada baiknya mengutamakan indoor sport saat udara tidak bersahabat.
Yang tak kalah penting adalah ”mendengarkan tubuh” lewat tipping point, yaitu kondisi saat peningkatan aktivitas fisik tidak lagi menyebabkan peningkatan manfaat kesehatan (manfaat maksimal telah tercapai). Jangan sampai kita masuk break event point karena risiko dari polusi udara mulai melebihi manfaat olahraga.
Menyambut dirgahayu Indonesia, sepatutnya kita bisa berolahraga bebas dan merdeka dari kepungan polusi udara. Merdeka!. Salam olahraga.
Penulis : Wiwin Is Effendi