JAKARTA – Kabar viral terkait polemik antara pendiri dua produsen mi instan Tanah Air tengah menjadi perbincangan di media sosial.
Hal tersebut berawal dari unggahan yang ramai di TikTok soal komisaris produsen Mie Gaga PT Jakarana Tama Djajadi Djaja yang disebut sebagai penemu Indomie, sebelum akhirnya berpolemik dengan Sudono Salim, pendiri Grup Salim sekaligus pemilik brand Indomie saat ini.
Netizen pendukung brand Mie Gaga bahkan turut menyerang akun Instagram Indomie.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Unggahan Instagram @indomie pada 17 Agustus 2023, seorang netizen dengan akun @dthnry, misalnya, berkomentar, “Indomie anak kandung pak djajadi djaja.”
Kemudian, kiriman Indomie lainnya, pada 27 Agustus 2023, pengguna @adityasprtmn42 menulis, “BISNIS HASIL MALING KO BANGGA.”
Beberapa netizen lainnya membeli Mie Gaga dengan menyebut, “Mie gaga kebanggaanku,” seperti tulis @anisa_rahmawatiiii pada 31 Agustus 2023 dalam postingan @indomie pada 3 hari lalu.
Tidak hanya itu, netizen beramai-ramai ‘menggeruduk’ kolom komentar postingan Indomie lainnya, termasuk kiriman pada dua hari lalu.
Pengguna Instagram dengan username @_dionsptrr, misalnya, berkomentar, “Tombol yang suka mie gaga ==== >.” Komentarnya pun disukai oleh 4.823 likes per 31 Agustus 2023, pukul 00.03 WIB.
Di tengah sentimen negatif di media sosial, harga saham produsen Indomie PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) pun ambles.
Hingga 1 September 2023, saham ICBP berada di level Rp11.200/saham atau turun 4,27% dibandingkan posisi 18 Agustus 2023 (Rp11.700/saham) usai sempat memerah 4 hari beruntun pada 21-24 Agustus.
Pada pekan lalu, saham ICBP juga memerah 3 kali, yakni 28, 30, dan 31 Agustus.
Praktis, kapitalisasi pasar (market cap) ICBP pun menguap Rp5,83 triliun dari Rp136,44 triliun pada 18 Agustus menjadi Rp130,61 triliun pada 1 September 2023.
Sementara, saham induk ICBP PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) melemah 1,75% dalam sepekan ke level Rp7.000/saham.
Tanggapan Djajadi Djaja
Menanggapi kabar yang beredar, PT Jakarana Tama buka suara soal hebohnya pemberitaan komisarisnya yang disebut sebagai penemu Indomie.
Jakarana Tama menampik bahwa komisarisnya Djajadi Djaja pernah membuat, menyuruh membuat, menyebarkan atau menjadi narasumber ataupun memberikan tanggapan apapun sehubungan dengan berita-berita yang telah dibuat. Ia pun mengaku tak pernah dimintai keterangan terkait hal tersebut.
“Djajadi Djaja dan PT Jakarana Tama tidak akan memberi tanggapan apapun sehubungan dengan berita yang telah tersebar,” kata Djajadi melalui keterangan resminya, dikutip Jumat (25/8/2023).
Sebelumnya, diberitakan bahwa Djajadi merupakan penggagas produk Indomie bersama dengan pengusaha Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Keduanya mendirikan PT Indofood Eterna pada 1984.
Namun, pada 1993, perusahaan Djajadi mengalami masalah keuangan. Akibatnya, Grup Salim memutus hubungan dan mendepaknya dari Indofood.
Singkat cerita, Djajadi kemudian melanjutkan berjualan mi instan di bawah naungan PT Jakarana Tama. Mengutip situs resmi Gagafood.co.id, Djajadi masih tertera sebagai komisaris di perusahaan yang menjual produk Mie Gaga, Mie “100”, “1000”, Mie Gepeng, Mie Telor A1 tersebut.
Polemik Djajadi Versus Indofood
Pada 1999, Djajadi diketahui sempat melayangkan gugatan kepada PT Indofood Sukses Makmur dan empat mantan pejabatnya atas pembelian merek dagang yang dilakukan perusahaan tersebut pada pertengahan tahun 1980an.
Mengutip dari artikel Wall Street Journal yang terbit 2 Februari 1999, menurut dokumen pengadilan yang diperoleh Dow Jones News Wire kala itu, perusahaan Djajadi PT Wicaksana Overseas International juga pernah menjadi distributor produk Indofood.
Menurut gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djajadi menuntut ganti rugi sebesar Rp620 miliar dari Indofood. Ada pula Chief Executive Officer (CEO) Salim Group Anthony Salim dan tiga mantan pejabat Indofood, Ibrahim Risjad, Djuhar Sutanto dan Sudwikatmono.
Saifullah, pengacara firma hukum Lubis, Santosa & Maulana di Jakarta, yang mewakili Djajadi, membenarkan bahwa Indofood dan keempat eksekutifnya dituntut karena praktik bisnis tidak sehat terhadap Djajadi terkait perjanjian jual beli saham pada pertengahan tahun 1980an.
“Djajadi terpaksa menjual 11 merek makanan kepada para terdakwa hanya dengan harga 30.000 rupiah dan tiga di antaranya merupakan merek paling populer di Tanah Air pada saat itu,” klaim Saifullah.
Pada saat itu, WSJ tidak dapat mendapat komentar dari eksekutif Indofood.
Lebih rinci, berdasarkan dokumen yang diajukan ke pengadilan, Djajadi mengklaim awalnya memiliki 11 merek makanan termasuk Indomie dan Chiki Snack & Lukisan yang populer. Merek-merek tersebut digunakan oleh PT Sanmaru Food Produsen Co., sebuah perusahaan milik Pak Djajadi yang bekerja sama dengan tiga mitra.
Dalam perjanjian yang ditandatangani pada 1984, empat mantan eksekutif Indofood membeli 42,5% saham Sanmaru. Mereka kemudian memperoleh saham mayoritas di Sanmaru melalui peningkatan modal disetor Sanmaru, menurut dokumen pengadilan.
“Strategi menambah jumlah saham yang diterbitkan menjadi 8.000 dari 400 dan meningkatkan modal disetor menjadi satu miliar rupiah dari 50 juta rupiah menguntungkan para terdakwa karena mereka adalah investor besar dan mampu membeli sebagian besar perusahaan tersebut. dan menjadi pemegang saham pengendali,” kata dokumen itu.
Djajadi mengaku terpaksa menjual perusahaannya beserta mereknya kepada PT Indofood Interna Corp. dengan harga yang sangat murah pada tahun 1986. Kesebelas merek tersebut dijual dengan total harga 30.000 rupiah.
Djajadi menuntut agar transaksi penjualan tersebut dibatalkan karena ia menuduh perjanjian jual belinya diambil dengan paksa. Dia bersikeras bahwa merek tersebut adalah miliknya secara pribadi dan tidak seharusnya dimasukkan sebagai aset Sanmaru. Jadi, meski Sanmaru sudah dijual, dia tetap menjadi pemilik sah merek tersebut.